PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Istilah Kasta
Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah
karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan
pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang
membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status
keluarganya. Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda.
Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti
"kayu".
Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna dalam Weda.
Kasta tidak pernah ada dalam tradisi Hindu baik Zamannya Wayang
Mahabaratamaupun Zaman Majapahit. Kasta mulai ada di India semenjak
kedatangan Bangsa Arab dan Kristen, Bangsa Arab dan Kristen terbiasa dengan
perbudakan
Kasta
sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas
sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang
kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang
sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum
bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau
disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang dengan sebutan “darah
biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang
disebut keraton atau puri.
Di India kasta
itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama
menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta
tersendiri.
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau
kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan
tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul
istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “kaum
bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau
disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang “bangsawan” umumnya
mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.
Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.
Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya
kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun
penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap
biasa saja.
Dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan
kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, Sistem Catur Warna “diubah” oleh Belanda yang dulu menjajah
Indonesia, tujuannya yaitu untuk memecah belah kekuatan di masyarakat, yaitu dengan
semakin memperlebar jarak antara Raja dan rakyatnya, memecah masyarakat ke
dalam kelompok-kelompok kasta, salah satu trik adu domba.kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna.
Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur
Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu
oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan
kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan kasta yang
berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang
termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab
Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi)
masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali
adalah Kasta, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Kasta
tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada
satu Kasta yang lebih tinggi dari Kasta yang lain). Namun demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada
suatu Kasta yang dianggap lebih tinggi daripada Kasta yang lain. Untuk merubah
pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh
karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali
di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna:
Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna
diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun
temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan
fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya,
kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu,
anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau
orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang
baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti
abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta
sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal
dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati
kasta-kasta yang lebih tinggi.
2.3 Seorang Wanita Berkasta Rendah Menikah
dengan Seorang Pria Berkasta Tinggi
Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah menikah dan
menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam pernikahan
beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa
dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi.
Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi
di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi
keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta
yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik
mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang
tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya banten untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan
dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami
yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah
jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya
menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.
2.4 Seorang Wanita Berkasta Tinggi Menikah
dengan Seorang Pria Berkasta Rendah
Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta
menikah dengan lelaki tidak berkasta atau dengan lelaki yang kastanya lebih
rendah? Ini istilahnya “nyerod” atau turun kasta. Pernikahan seperti sangat
dihindari dan kalaupun terjadi biasanya dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah
dengan sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak
akan diijinkan oleh keluarga besar pihak perempuan.
Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh
penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri
mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu,
biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut
sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi
laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta
suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian
besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang
bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta
lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
2.5 Sistem Kasta/Warna yang Sesuai dengan ajaran Hindu
Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang
sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda
(Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut
isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok-
kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh "guna" yang
merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).
Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.
- Brahmana-orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
- Ksatria-orang orang yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
- Waisya-orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.
- Sudra-orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak
diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis,
tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi
dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah
Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.
Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan,
artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang
Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak
diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis,
tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi
dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah
Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.
Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan,
artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang
Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.
Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda, di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur).
Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai
pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu.
Misalnya
:
Soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu
adalah "pengrajin/pande-besi",
Arya Kenceng contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari kelompok "Arya" (ksatria yang
berasal dari jawa masuk ke Bali)
Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta, ini merupakan bentuk pelecehan. Maka masyarakat Bali dan nama Hindu menjadi buruk, banyak saudara - saudara dibali masih salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar Bali. mungkin karena Umat Hindu kurang mensosialisasikan secara gamblang apa itu wangsa/warna.
Baiklah, cukup sekian tulisan saya mengenai kasta
khususnya di Bali. Sekali lagi saya tidak bermaksud pro atau pun kontra tentang
sistem kasta ini. Tulisan ini hanya sebuah bahan renungan dan pertimbangan.
Apabila ada dirasa salah atau keliru, saya meminta maaf.
Saya sendiri tidak mengatakan bahwa sistem kasta ini
buruk dan harus ditinggalkan. Karena sejarah sudah berjalan dan kasta sudah
begitu lekat dengan orang Bali. Namun saya juga tidak suka bila terlalu fanatik
dengan kasta, misalnya masalah bahasa dan berbagai hal yang kesannya
membeda-bedakan masyarakat dari golongan kasta. Kita sebaiknya jangan menilai
seseorang dari apa kastanya.
Semoga saja ke depannya orang Bali khususnya yang
beragama Hindu bisa lebih bijak menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan kasta.
Hal-hal yang dirasakan tidak enak dan merugikan sebaiknya memang ditinggalkan
saja. Namun hal-hal positifnya tetap patut dipertahankan, apalagi untuk
memfilter berbagai pengaruh dari luar sehingga ke depannya Bali yang kita
cintai tetap “ajeg” serta damai dan lestari selamanya. Jadi sebaiknya jangan
menikah dengan lelaki yang berbeda kasta, karena akan timbul berbagai masalah
yang bersumber dari tradisi yang menyimpang dari weda.
mantap pak karna sistem kasta seperti itu tidaklah baku, jadi walopun masi ada di bali. menurut saya itu sah2 aja tapi itu hanya batasan budaya saja, yang kita jg hormati dan kita harus berpikir rasional bahwa tuhan menciptakan manusia itu sama drajatnya.
BalasHapus