Minggu, 05 Mei 2013

SISTEM KASTA DI BALI



PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Istilah Kasta
Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".

Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna dalam Weda. Kasta tidak pernah ada dalam tradisi Hindu baik Zamannya Wayang Mahabaratamaupun Zaman Majapahit.  Kasta mulai ada di India semenjak kedatangan Bangsa Arab dan Kristen, Bangsa Arab dan Kristen terbiasa dengan perbudakan
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.
Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.

Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.

Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.

            Dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, Sistem Catur Warna “diubah” oleh Belanda yang dulu menjajah Indonesia, tujuannya yaitu untuk memecah belah kekuatan di masyarakat, yaitu dengan semakin memperlebar jarak antara Raja dan rakyatnya, memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok kasta, salah satu trik adu domba.kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Pada masyarakat Hindu di  Bali, terjadi  kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan kasta yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Kasta, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Kasta tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Kasta yang lebih tinggi dari Kasta yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Kasta yang dianggap lebih tinggi daripada Kasta yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.


2.3 Seorang Wanita Berkasta Rendah Menikah dengan Seorang Pria Berkasta Tinggi
Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi.
Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya banten untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.


2.4 Seorang Wanita Berkasta Tinggi Menikah dengan Seorang Pria Berkasta Rendah
Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah dengan lelaki tidak berkasta atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah? Ini istilahnya “nyerod” atau turun kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan kalaupun terjadi biasanya dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga besar pihak perempuan.
Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.


2.5 Sistem Kasta/Warna yang Sesuai dengan ajaran Hindu

Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok- kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh "guna" yang merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).

Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.
  1. Brahmana-orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
  2. Ksatria-orang orang yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya.  Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. 
  3. Waisya-orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.
  4. Sudra-orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.
Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.


Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.
Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.

Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda, di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur).
Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu.
 Misalnya :
Soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah "pengrajin/pande-besi",
Arya Kenceng contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari kelompok "Arya" (ksatria yang berasal dari jawa masuk ke Bali)

Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta, ini merupakan bentuk pelecehan. Maka masyarakat Bali dan nama Hindu menjadi buruk, banyak saudara - saudara dibali masih salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar Bali. mungkin karena Umat Hindu kurang mensosialisasikan secara gamblang apa itu wangsa/warna.




3.1 Kesimpulan dan Saran
Baiklah, cukup sekian tulisan saya mengenai kasta khususnya di Bali. Sekali lagi saya tidak bermaksud pro atau pun kontra tentang sistem kasta ini. Tulisan ini hanya sebuah bahan renungan dan pertimbangan. Apabila ada dirasa salah atau keliru, saya meminta maaf.
Saya sendiri tidak mengatakan bahwa sistem kasta ini buruk dan harus ditinggalkan. Karena sejarah sudah berjalan dan kasta sudah begitu lekat dengan orang Bali. Namun saya juga tidak suka bila terlalu fanatik dengan kasta, misalnya masalah bahasa dan berbagai hal yang kesannya membeda-bedakan masyarakat dari golongan kasta. Kita sebaiknya jangan menilai seseorang dari apa kastanya.
Semoga saja ke depannya orang Bali khususnya yang beragama Hindu bisa lebih bijak menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan kasta. Hal-hal yang dirasakan tidak enak dan merugikan sebaiknya memang ditinggalkan saja. Namun hal-hal positifnya tetap patut dipertahankan, apalagi untuk memfilter berbagai pengaruh dari luar sehingga ke depannya Bali yang kita cintai tetap “ajeg” serta damai dan lestari selamanya. Jadi sebaiknya jangan menikah dengan lelaki yang berbeda kasta, karena akan timbul berbagai masalah yang bersumber dari tradisi yang menyimpang dari weda.




1 komentar:

  1. mantap pak karna sistem kasta seperti itu tidaklah baku, jadi walopun masi ada di bali. menurut saya itu sah2 aja tapi itu hanya batasan budaya saja, yang kita jg hormati dan kita harus berpikir rasional bahwa tuhan menciptakan manusia itu sama drajatnya.

    BalasHapus